Minggu, 02 November 2014

Dirigent Vs Countem of Conductor

Dalam sebuah paduan suara, pemimpinnya disebut dirigent, atau conductor. Ia akan memimpin semua peserta paduan suara untuk membunyikan suara yang harmonis, terpadu dan seirama. Sehingga enak didengar. Kepemimpinan yang demikian sering sangat peka terhadap hal-hal kecil yang sedikit sumbang, menggangu pendengarannya sehingga suara yang terdengar kurang harmonis.

Hal yang mengganggu seperti itu sangat sering terjadi, sehingga dituntut bagi seorang dirigent yang berhadapan langsung dengan yang dipimpinnya, untuk menyatukan hati, pikiran dan tujuan yang sama dengan peserta paduan suara. Menyatu dalam ekspresi, volume, serta dinamika yang sudah tertuang secara tertulis pada partitur lagu yang dinyanyikan. Dengan demikian, dengan membaca partitur yang sama, dan pemaknaan yang sama akan isi tulisan, akan menghasilkan suara yang indah itu tadi.

Dalam percaturan politik di Indonesia yang kini sedang terjadi, dimana kekacauan komunikasi dipertontonkan oleh para legislatif di DPR, saya melihat telah terjadinya sebuah contra  dirigen, atau yang saya sebut sendiri sebagai 'Countem of Conductor'. Hal mana antara pemimpina dan peserta saling bertolak belakang. Yang menghasilkan suara yang jelas sangat sumbang dan tidak enak di dengar.

Lalu siapakah dirigent dan siapa kelompok 'paduan suara'nya? Kisruh pasca pilpres yang mengkotakkan dua koalisi di parlemen yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori oleh PDIP dan PKB, Nasdem, Hanura, serta Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori oleh Partai Gerindra, dan Golkar, PKS, PPP. PPP pasca pemilihan ketua MPR bergabung dengan KIH, dan Demokrat, walau disebut netral, namun tetap lebih condong bergabung dengan KMP.

Countem of Conduct tersebut adalah antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan KMP. Ketidak sukaan KMP dengan Presiden ke-5 ini telah mereka pertontonkan dalam sebuah ketidak senangan. Mereka menunjukkan 'perlawanan' untuk kepentingan kelompoknya yang tidak tercapai. Akibatnya suara yang dihasilkan sangat tidak enak didengar. Sebagian menyebut mereka seperti Taman Kanak-kanak sebagaimana sebutan Presiden ke-4 Gus Dur.

Tentunya kita berharap, mereka akan menyuarakan sesuai partitur yang sama yaitu 'Pancasila dan UUD 45', untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia. Sehingga jika partiturnya sama, dan ekspresi membacanya juga sama, tentu akan menghasilkan suara yang sangat indah.

Namun, kapan??? Berapa lama lagi para politisi ini mampu merobah diri, merevolusi mental.