Minggu, 24 Oktober 2010

Martonggo atau Marria Raja

Bagi masyarakat adat di Pekanbaru, ada tradisi martonggo raja. Yang disebut sebagai sebuah musyawarah adat untuk membicarakan seputar persiapan pelaksanaan adat yang kelak akan dilakukan.

Jika yang akan dilakukan adalah upacara bagi yang meninggal, martonggo raja dilakukan untuk menyepakati konsep tatalaksana adat yang akan dilakukan. Sementara pada adat pernikahan, dilakukan oleh keluarga laki-laki bersama dongantubu, boru dan dongansahuta untuk persiapan pesta unjuk tersebut. Sementara, jika yang melakukan rapat adalah pihak perempuan serta kerabat dongantubu, boru, dan dongansahutanya disebut marria raja.

Walau saya bukan ahli bahasa, menurut saya, penggunaan ini sudah tidak tepat.

Mengacu kepada kamus bahasa Batak (http://web.tiscali.it/batak/),  disebut martonggo raja adalah mengundang raja-raja untuk turut berpesta. Artinya, hanya kepada adat yang mengundang berpestalah yang disebut martonggo raja. Jika itu bukan pesta maka kurang tepat disebut martonggo raja.

Akan tetapi, disebut marria raja adalah sebuah musyawarah adat, yang membahas seputar persiapan hasuhuton dalam tatalaksana adat yang akan dilangsungkan. Baik seputar siapa yang bertugas marhobas, sebagai pendamping hasuhuton (paidua), atau sebagai juru bicara (parsinabul).

Memahami struktur tarombo masing-masing marga Batak, khususnya di bonapasogit, sesungguhnya sudah banyak yang secara otomatis menjadi pelaksana bagian-bagian tersebut diatas. Namun untuk menguatkan kesiapan tatalaksana tersebutlah perlu dilangsungkan musyawarah.

Beda halnya di Pekanbaru, perantauan yang telah dibanjiri masyarakat adat Batak ini memilih pelaksana adat adalah punguan marga. Kekuatan punguan merga menjadi sangat penting bagi setiap yang akan melakukan adat. Sehingga wajar tetap harus dilakukan musyawarah, bagaimanapun kondisi kelengkapan kekerabatannya di Pekanbaru.

Menurut saya, perlu pemahaman bersama untuk meluruskan penyebutan yang kurang sesuai tersebut. Semoga pemikiran ini bermakna bagi yang membaca.

Pekanbaru, Minggu 24 Oktober 2010